"Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah mengurus urusan mereka secara patut adalah baik" (Al-Baqarah : 220)

Keutamaan Mengasuh anak yatim(klik for read more)

DALAM SEGALA KEADAAN TETAPLAH BERSYUKUR,KARENA BERSYUKUR ITU LEBIH BAIK DARIPADA KUFUR.

yang utama adalah aqidah dulu(klik for read more)

BERSAMA DALAM AL-HIMMATU KITA MEMBANGUN SEBUAH KEMANDIRIAN .

Saat muda taat ketika tua isyallah (klik for read more)

ORANG TIDAK DITENTUKAN OLEH APA YANG IA MILIKI KETIKA LAHIR,MELAIKAN APA YANG IA PERBUAT ATAS DIRINYA.

Gambar yang yang ditampilkan masih dalam percobaan

BERSABARLAH KALAIN DALAM SEGALA KEADAAN KAREA SESUNGUHNYA ALLAH SWT BERSAMA ORANG YANG SABAR.

Kisah anak dan Gambar ibunya.

APAPUN YANG TERJADI TETAPLAH TERSENYUM.

Sabtu, 05 Januari 2013

LAUNCING HIMMATU,PLERET .



   Alhamdulilah, segala puji bagi Allah Swt, yang telah memberikan Rahmat dan Karunianya terhadap pergeraka kami yaitu HIMMATU dalam mengambangkan sayap-sayap cabangnya dalam usaha pemngembangan dan pengelolaan anak yatim Non-Panti,setelah beberapa saat yang lalu himmatu pertama di buka di Bambanglipuro sebagai pergerakan awal dan sebagai kantor pusat himmatu, maka setelah tim "himmatu"memperesentasikan apa dan bagiamana himmtu tersebut kepada beberapa jamaah pengajian di pleret ,maka tergeraklah beberapa kelompok pengajian untuk ikut andil, mengadopsi sistem dan pembelajaran yang diterapkan oleh himmatu, dari hasil tersebut akhirnya terkumpumpulah orang-orang yang akhirnya terbentuk menjadi SC(starting Comite)sesepuh dan Trainer. setelah perjuangan selang beberapa bulan dalam rangka "tak Muru na Bil Makhruf" mengajak kepada kebaikan,. akhirnya mengerucut dalam sebuah gerakan nyata dan akhirnya,HImmatu Pleret lahir sebagai generasi ke-2 , setelah bambang lipuro. 

    Pada tanggal 23 maret 2012,akhirnya HImmatu pleret launcing ,dengan di hadiri lebih dari 400-an orang.Yang terdiri dari Para tamu undangan dan anak yatim yang juga ikut hadir dalam acara luncing tersebut.Opening juga dihadiri oleh pejabat daerah setempat,yaitu kepala kecamatan yang ikut memberikan apresiasi atas pergerakan ini dan sekaligus yang membuka himmatu di pleret. Dan beberapa elemen-elemen dan pihak-pihak lainya yang sangat banyak yang mendukung pergerakan dalam terbentuknya himmatu di Pleret ini kami ucapkan Jazakumullah khiran katsiran.(red) berikut beberapa dokemntasi dari LAuncing Himmatu,Pleret,23MAret,2012.    

Kamis, 13 Desember 2012

Download Aplikasi Al-Quran, Lengkap.


Ayat adalah versi desktop dari Proyek Al-Qur’an Al-Karim dari King Sa’ud University, yang menawarkan semua fitur versi online/offline tanpa perlu koneksi internet. Aplikasi ini memiliki beberapa fitur menarik diantaranya :

1.Terjemah Al-Qur’an ke dalam lebih dari Duapuluh Bahasa : Inggris, Indonesia, Perancis, Jerman, dll.

2.Tafsir Al-Qur’an dari Enam Kitab Tafsir : Tafsir As-Sa’di, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Al-Baghawi,Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Muyassar.

3.Pembacaan oleh beberapa Qari’ ternama : Syaikh Al-Hudzaify, Syaikh Sa’ad Al-Ghamidi, Syaikh Abdulbashit, Syaikh Al-Husari, Syaikh Misyari Rasyid Al-’Afasy., Syaikh Sudais ,Syaikh Shuraim dll.

4.Pengulangan bacaan untuk membantu dalam menghafal [Fitur Baru] I’rab Al-Qur’an.

5.Indeks Juz yang mempermudah dalam mencari surah di dalam Al-Quran


Untuk dapat menggunakan program tanpa koneksi internet Anda harus pertama untuk men-download konten yang diperlukan (tilawah file audio, file gambar (scan halaman Alquran), terjemahan file) pada PC .

silhkan Langsung download ke linknya langsung.
Download Button


1.Screen Shoot Tampilan awal , aplikasi , Al-Quran dan Terjemahannya.





2.Tampilan menu ,untuk pengaturan dan pengulangan dalam memutar File Audio. Kita bisa mentukan ,ayat  berapa -samapai  berapa yang ingin kita dengarkan .

3.Kita dapat memili Qori yang kitat akan kita dengarkan Bacaannya..

4.Kita dapat memilij jalur Bacaan  riwayat Hafs atau Warsh.



5.Indeks Juz dan Surat .
6.Dilengkapi dengan Kitab Tafsir yang masyur .




Senin, 10 Desember 2012

kisah anak dan lukisan Ibunya


Gambar yang menyayat hati ini diambil dari salah sebuah rumah anak yatim piatu di palestina, yang menunjukkan seorang anak yatim melukis gambar ibunya di atas lantai dan tidur dipangkuannya,
 dalam usaha untuk mendapatkan kasih sayang dan belas kasihan seorang ibu. – nourislam.comkisah seorang anak kecil yang melukis Ibunya pada sebuah lantai ini menggambarkan kepedihan seorang anak yang begitu merindukan kasih sayang seorang Ibu, Ibu anak ini meninggal dalam sebuah peperangan dinegeri para Nabi palestin, sang anak tinggal disebuah rumah yatim piatu di palestina yang mungkin dirumah yatim ini banyak anak-anak yang menjadi korban ditinggal orangtuanya akibat perang yang tiada berkesudahan antara palestina dan israel, mereka adalah anak-anak korban kebiadaban israel, mereka anak-anak yang tiada tahu menahu apa yang membuat mereka jadi korban perang yang begitu kejam itu, mereka hanya ingin hidup damai layaknya anak-anak yang lain dan bagi anak-anak yang masih memiliki kedua orang tua syukurilah dengan sebenar-benarnya, jangan sia-siakan pengorbanan dan kasih sayang mereka, berbaktilah dengan sepenuh jiwa raga kita, baik dengan Do'a untuk kebaikan kedua orang tua maupun dengan pembuktian pemelihaaraan kita sebagai anak dihari tua kedua orang tua, Ibu Bapak kita, jangan sia-siakan dan ingatlah bantu mereka anak-anak korban perang palestin dengan cara sisihkan sebagaian harta kita buat mereka, mereka perlu hidup layaknya anak anak yang memiliki Ibu Bapak, mereka juga mempunyai perasaan yang sama seperti kita, hanya saja mereka tak punya tempat untuk berlindung dan berteduh dalam sebuah kasih sayang, dan kalau kita diberi kemampuan oleh ALLAH mari menjadi Ibu dan Bapak bagi mereka, kalau bukan kita siapa lagi, WALLAHU A'LAM BISSAWAB.



Rabu, 22 Februari 2012

Empat nasib manusia

Dilihat dari segi nasib, bahagia atau sengsara saat di dunia dan di akhirat, manusia akan mengalami salah satu dari empat nasib; bahagia di dunia-bahagia di akhirat, sengsara di dunia-bahagia di akhirat, bahagia di dunia-sengsara di akhirat dan sengsara di dunia-sengsara pula di akhirat.

Sebelum keempat nasib ini dirinci, perlu dicatat bahwa“bahagia di dunia” yang dimaksud bukanlah kebahagiaan hakiki berupa kebahagiaan dan ketenangan ruhani karena berada di bawah naungan ridha ilahi. Tapi yang dimaksud adalah kebahagiaan yang oleh kebanyakan orang dipersepsikan sebagai kebahagiaan; harta melimpah, hidup nan serba mudah dan musibah yang seakan-akan enggan untuk singgah.

Nah sekarang mari kita rinci satu persatu.

Bahagia di dunia-bahagia di akhirat

Nasib yang paling diidamkan semua orang. Semboyan “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya mati masuk surga” menjadi puncak khayalan yang diinginkan manusia. Tapi benarkah ada orang yang di dunia kaya dan saat di akhirat beruntung mendapat Jannah-Nya? Tentu saja ada. Itulah orang yang mendapat fadhlullah, anugerah istimewa dari Allah.

Dalam sebuah hadits yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa suatu ketika para shahabat yang ekonominya lemah mengadu pada Nabi tentang rasa iri mereka terhadap shahabat lain yang kaya. Yang kaya bisa infak banyak tapi juga melakukan ibadah yang sama dengan yang mereka lakukan saban hari. Lalu Nabi mengajarkan dzikir-dzikir yang dapat mengimbangi pahala infak. Tapi ternyata shahabat yang kaya juga mendengar dzikir ini lalu mengamalkannya. Saat dikomplain, Nabi SAW menjawab, “ Itulah anugerah Allah yang akan diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.”

Itulah anugerah Allah. Allah membagi rezeki sesuai kehendak-Nya. Ada yang sedikit ada yang banyak. Sebagian orang ada yang dikarunia rezeki melimpah, hidupnya pun serba mudah. Namun begitu, ternyata semua itu tidak memalingkannya dari cahaya hidayah. Harta yang dikaruniakan gunakan untuk membangun rel yang memuluskan jalan mereka menuju jannah. Rel-rel yang dibangun adalah besi-besi berkualitas dari infak fi sabilillah, sedekah kepada fakir miskin dan yatim dan berbagai proyek amal jariyah. Lebih daripada itu, harta itu juga digunakan untuk membeli berbagai fasilitas yang dapat membantu meraup ilmu mulai dari buku hingga biaya untuk belajar kepada para guru. Kesehatan dan kemudahan hidup digunakan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Dengan semua ini, insyaallah, kebahagiaan yang lebih abadi di akhirat telah menanti. Kalau sudah begini, manusia semacam ini memang sulit ditandingi. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki.

Sengsara di dunia-bahagia di akhirat

Ini nasib kebanyakan orang-orang beriman. Kehidupan di dunia bagi mereka seringnya menjadi camp pelatihan untuk menempa iman. Kesulitan hidup berupa sempitnya kran rezeki memicu munculnya ujian-ujian kehidupan seperti tak terpenuhinya kebutuhan logistik, pendidikan, sandang dan papan. Atau kesulitan hidup berupa kekurangan dalam hal fisik; buta, bisu, buntung, lumpuh dan sebagainya.Dera dan cobaan yang kerapkali menguras airmata dan menggoreskan kesedihan dalam jiwa.

Namun begitu, iman mereka menuntun agar bersabar menghadapi semua dan tetap berada di jalan-Nya. Dan pada akhirnya, selain iman yang meningkat, semua kesengsaraan itu akan diganti dengan kebahagiaan yang berlipat. Rasa sakit, sedih dan ketidaknyamanan hati seorang mukmin akan menjadi penebus dosa dan atau meningkatkan derajat. Sedang di akhirat, hilangnya dosa berarti hilangnya halangan menuju kebahagiaandi dalam jannah dengan keindahannya yang memikat. Dan tingginya derajat keimanan adalah jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan kemuliaan di akhirat.

Allah berfirman:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al Baqarah:155-157)

Bahagia di dunia-sengsara di akhirat

Kalau yang ini adalah gambaran rata-rata kehidupan orang-orang kafir dan manusia durhaka. Sebagian mereka bergelimang harta, hidup mewah dan dihujani kenikmatan-kenikmatan melimpah. Bukan lain karena mereka bebas mencari harta, tanpa peduli mana halal mana haram.Sebagian yang lain barangkali tidak mendapatkan yang semisal. Tapi mereka mendapatkan kebebasan dalam hidup karena merasa tidak terikat dengan aturan apapun. Aturan yang mereka patuhi hanya satu “boleh asal mau atau tidak malu”.

Merekalah yang menjadikan dunia sebagai surga dan berharap atau bahkan yakin bahwa yang Mahakuasa akan memaklumi kedurhakaan dan kelalaian mereka dari perintah-Nya, lalu memasukkan mereka ke jannah-Nya. Padahal sejak di dunia mereka telah diperingatkan:

“Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. 31:24)

Sengsara di dunia sengsara di akhirat.

Inilah orang paling celaka dalam sejarah kehidupan manusia, dunia akhirat. Di dunia hidup miskin, susah payah mencari sesuap nasi dan hutang menumpuk karena usaha selalu tekor hingga hidup pun tak nyaman karena diburu-buru debt kolektor.Atau hidup dalam keterbatasan karena cacat di badan dan masih ditambah ekonomi yang pas-pasan. Dan dengan semua itu, mereka tidak memiliki harapan untuk hidup bahagia di akhirat meski hanya seujung jari, karena iman sama sekali tidak tumbuh dalam hati. Di penghujung hidup mereka mati dalam kondisi kafir, menolak beriman kepada Rabbul Izzati.

Dan di akhirat, neraka yang menyala-nyala telah menanti. Karena ketiadaan iman, mereka tidak akan mendapatkan belas kasihan. Hukuman akan tetap dijalankan karena di dunia mereka telah diperingatkan. Na’udzu billah, semoga kita terhindar dari keburukan ini.

Padahal yang didunia sempat merasakan kesenangan saja, apabila dicelupkan ke dalam neraka, akan musnah semua rasa yang pernah dicecapnya. Lantas bagaimana dengan yang sengsara di dunia dan berakhir dengan siksa di neraka?

عَامِلَةٌنَّاصِبَةٌ {3} تَصْلَىنَارًاحَامِيَةً

“Bekerja keras lagi kepayahan, -sedang di akhirat- memasuki api yang sangat panas (QS. Al Ghasiyah:3-4)

Kita masih bisa memilih

Dari keempat kondisi di atas, sebisanya kita tempatkan diri kita pada yang pertama. Caranya dengan sungguh-sungguh bekerja agar kehidupan dunia sukses dan mulia. Bersamaan dengan itu, kesuksesan itu kita gunakan untuk membeli kebahagiaan yang jauh lebih kekal di akhirat. Jika tidak bisa, pilihan kita hanya tinggal kondisi kedua karena yang ketiga hakikatnya sama-sama celaka dengan yang dibawahnya. Meskipun hidup di dunia kita harus berkawan dengan sengsara, tapi dengan iman di dada kita masih layak tersenyum karena harapan itu masih ada. Harapan agar dimasukkan ke dalam jannah yang serba mewah, atas ijin dan ridha dari Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.Wallahua’lam bishawab, wa astaghfirullaha ‘ala kulli khati`ah. (taufikanwar)

Antara cita-cita dan angan-angan

Sekilas memang tampak mirip antara keduanya, sama-sama berharap bisa merengkuh suatu kesuksesan dan kemuliaan. Sementara, nash-nash menunjukkan adanya nilai yang berkebalikan antara keduanya. Allah dan Rasul-Nya memuji orang yang optimis dalam bercita-cita, menyukai cita-cita yang tinggi, juga menghasung kita untuk tinggi dalam bercita-cita. Seprti tersirat dalam doa untuk menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa, memohon jannah Firdaus yang merupakan jannah yang paling tinggi dan paling tengah, juga bertekad dengan tulus supaya sampai ke derajat orang yang syahid.

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

“Barangsiapa yang memohon syahid kepada Allah dengan tulus, maka Allah akan menyampaikan dirinya ke derajat syuhada’ meskipun dia mati di atas kasurnya.” (HR Muslim)

Berbeda dengan panjang angan-angan yang dipandang syariat sebagai cela. Layaknya penyakit yang perlu diterapi atau kelemahan yang mendatangkan kerugian dan kebinasaan. Firman Allah,

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (QS al-Hijr 3)

Muhammad bin Waasi’ rahimahullah, tokoh tabi’in berkata, “Ada empat pertanda kesengsaraan; panjang angan, keras hati, sempit pandangan dan bakhil.”

Maka jelas, nilai kedudukan keduanya berkebalikan, yang satu mulia dan yang satu hina. Lalu apa yang membedakan antara bercita-cita dan berangan-angan?

Beda Motivasi

Pertama, dari sisi sebab munculnya sudah beda. Angan-angan itu muncul karena dorongan hawa nafsu, seperti yang disebutkan oleh Imam as-Suyuuthi dalam Jami’ al-Hadits bahwa thuulul amal huwa raja’un ma tuhibbuhu an-nafsu, harapan (yang timbul) karena keinginan nafsu. Ingin kaya agar bisa menikmati setiap yang diinginkannya, ingin menjadi pejabat yang memiliki banyak bawahan dan terhormat di mata manusia, atau keinginan lain yang ujungnya adalah ingin mendapatkan kepuasan nafsu.

Berbeda halnya dengan cita-cita. Ia muncul dari pemikiran yang jitu, juga renungan yang mendalam tentang posisi atau target apa yang bisa mendatangkan maslahat untuk dirinya dan juga umat. Hal ini sesuai dengan pesan Nabi saw,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِز

“Bersungguh-sungguhlah mengupayakan apa-apa yang bermanfaat untukmu, memohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu merasa lemah (pesimis).” (HR Muslim)

Beda Pula Efeknya

Di samping faktor pemicu antara angan dan cita-cita berbeda, efek yang ditimbulkan karena keduanya juga berbeda. Orang yang bercita-cita cenderung membulatkan tekadnya, mengatur langkahnya, mengerahkan potensinya dan serius untuk menggapai tujuannya. Berbeda dengan panjang angan-angan yang menyebabkan pemiliknya justru berleha-leha dan banyak melakukan taswif (menunda).

Dengan kata lain, jika ada seseorang memiliki target masa depan yang tinggi, tapi dia berleha-leha, maka yang dia miliki sebenarnya angan-angan, bukan cita-cita. Andai dia memiliki cita-cita, tentu dia akan menggunakan peluang dan potensinya untuk sesuatu yang bermanfaat dan mengantarkan cita-citanya. Dan untuk tujuan inilah Islam menghasung umatnya untuk bercita-cita mulia.

Nabi saw membedakan cita-cita mulia orang yang cerdas dengan kelemahan orang yang mengandalkan angan-angan,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّه

“Orang yang cerdas adalah orang yang sudi mengoreksi diri dan beramal untuk kehidupan setelah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, lalu berangan-angan kepada Allah.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan haditsnya hasan)

Si lemah berangan-angan, bahwa dengan bersenang-senang, mengikuti hawa nafsu, serta tanpa kesungguhan amal mereka menyangka akan mendapatkan kemuliaan oleh Allah. Tentang hadits ini, Al-Manawi dalam at-Taisir bi Syarhil Jaami’ ash-Shaghiir berkata, “Antara cita-cita dan angan-angan itu berbeda. Barangsiapa yang tidak mengolah tanah, tidak menaburinya dengan benih, namun dia menunggu datangnya panen, maka dia hanyalah pengandai yang terpedaya dan bukan orang yang bercita-cita. Karena orang yang bercita-cita itu adalah orang yang mengelola tanah, menaburinya dengan benih, mengairinya dengan air dan melakukan sebab-sebab yang logis untuk ikhtiar, lalu selebihnya dia berharap kepada Allah agar menghindarkan dari segala hama dan memberikan karunia panen raya.”

Cita-cita Hanya Milik Mukmin Saja

Satu hal lagi yang membedakan antara cita-cita dan panjang angan. Sesungguhnya, cita-cita hanyalah milik orang yang beriman saja. Setinggi apapun target yang hendak diraih oleh orang kafir, meski akhirnya mereka berhasil menggapainya, sebenarnya dari sejak semula, keinginan mereka hanyalah angan-angan semata. Karena obsesi terbesar mereka adalah dunia, puncak ilmu mereka adalah dunia dan mereka menyangka disitulah letak kebahagiaan dan kemuliaan, padahal itu hanyalah fatamorgana. Maka, sebenarnya mereka hanya memiliki angan-angan, bukan cita-cita.

Nantinya mereka akan sadar akan kekeliruannya dalam berangan-angan. Sadar telah salah mengambil jalan. Namun sayang, kesadaran itu muncul saat tak ada waktu lagi untuk merevisi angan-angan kosong menjadi cita-cita mulia,

“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.” (QS al-Hijr 2)

Ya Allah, sampaikanlah kami kepada cita-cita kami, untuk bersama orang-orang yang telah Engkau karuniakan nikmat kepada mereka, dari para Nabi, Shiddiqiin, Syuhada’ dan Shalihin. Amien. (Abu Umar Abdillah)

Sabtu, 18 Februari 2012

Yang utama adalah Aqidah dulu.

Sungguh kita tengah berada dalam arena fitnah yang berkepanjangan. Negeri yang aman kini telah berubah bentuk menjadi negeri yang mencekam dan menakutkan. Kolusi, korupsi, dan nepotisme menjadi bagian penting dalam tubuh para penegak dan penduduknya.
Krisis politik, sosial, dan perekonomian terus menggoyang keutuhan negeri ini, diwarnai dengan kerusuhan, keributan, dan demonstrasi yang tak henti-hentinya. Bersamaan dengan itu, semua dekadensi moral, akhlaq, dan aqidah anak-anak bangsa telah mencapai klimaksnya, kewibawaan bangsa dan umat Islam pun yang mayoritas penduduknya lenyap, kehilangan keseimbangannya di tengah-tengah gempuran tekanan kaum kuffar. Quo Vadis bangsa Indonesia??
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, amat disayangkan fenomena yang seperti ini disikapi oleh sebagian kaum dengan penuh emosi, hawa nafsu, dan arigansi sehingga bukan menghentikan krisis dan memadamkan api fitnah tetapi justru membuka pintu krisis baru dan menyalakan api fitnah yang kian membara. Mulai dari orasi-orasi di atas mimbar dalam rangka agitasi politik dengan memakai label penjagaan Islam, memompa semangat nasionalisme dengan memakai cap proteksi akan degradasi bangsa dan umat Islam, melawan dan memberontak penguasa / pemerintah dengan judul amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan mengkafirkan kaum muslimin dengan alasan al Wala’ wal Bara’, hingga aksi pengeboman di berbagai tempat secara serempak dengan mengatasnamakan jihad. Wa ilallahil musytaka.
Hendaknya para pemimpin negara mengetahui kadar pemerintahan dan mengetahui akan tinggi kedudukannya, sesungguhnya pemerintahan itu adalah nikmat di antara nikmat-nikmat Allah Ta’ala, barangsiapa yang menegakkannya dengan baik sesuai tuntutan-tuntutannya akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada taranya, sebaliknya jika tidak mengerti ukuran nikmat ini kemudian menyibukkan diri dengan kedzaliman dan hawa nafsunya, dikhawatirkan akan tergolong pada sebagian musuh-musuh Allah.
Pemimpin negara semestinya untuk tidak mengharap keridhaan seorang manusia di atas kebencian Allah disebabkan karena penyelisihan terhadap syari’at, harus dimengerti bahwa baiknya rakyat tergantung pada baiknya perjalanan penguasa.
Satu hal lagi yang mesti diingatkan di sini bahwa sudah seyogyanya bagi para pemimpin negara untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai tuntunan syari’at, menutup pintu-pintu kejahatan dan kerusakan, serta melindungi negara dan rakyat dari kejahatan kaum kuffar dan orang-orang yang berniat jahat. Apabila ini semua telah terpenuhi maka kantong amalannya pemerintah sebanding dengan pahala seluruh ibadah rakyat negerinya. Ketika itu negeripun akan makmur dipenuhi dengan ketentraman dan keselamatan serta berkah dalam rizki dan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, adapun rakyat, maka hendaknya menunaikan hak-haknya terhadap pemerintah di antaranya berupa taat dan mendengar pada setiap apa yang diperintah dan dilarangnya kecuali yang bersifat maksiat, ini adalah hak dan kewajiban yang paling besar terhadap pemerintah. Sebab ketaatan merupakan landasan yang kokoh dalam me-manage urusan-urusan negara dan rakyat.
Pemerintah dan para pejabat adalah manusia biasa dimana mereka masih membutuhkan nasehat orang-orang yang ikhlas dan bimbingan orang-orang yang bertaqwa.
Tugas yang mulia ini dipikul di atas pundak para ulama, merekalah yang melaksanakannya, kepada para ulama Islam serta da’i-da’inya yang ikhlas agar menegakkan apa yang Allah telah wajibkan atas mereka dari menerangkan yang haq, mengingatkannya, mendoakan kebaikan dan mengarahkan waliyul amri / pemerintah kepada yang ma’ruf serta membantu mereka akan hal itu, mencegah mereka dari yang munkar, memperingatkannya, serta menjelaskan akan keburukan akibatnya dan bahayanya pada umat cepat maupun lambat.
Bukan malah menjadi pemicu terjadinya fitnah dan kekacauan atau malah berpangku tangan pura-pura tidak tahu dan tidak ada kepedulian akan perbaikan umat, bangsa, dan negara. Kemungkaran yang merajalela dan kerusakan yang tak dapat dibendung serta carut-marutnya wajah bangsa adalah sebah-sebab datangnya musibah dan turunnya adzab.
Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar Rum: 41).
Sesungguhnya kehinaan dan malapetaka yang menimpa bangsa ini adalah ketika bangsa ini menghendaki kemuliaan bukan dari Islam, ketika para penguasa dan rakyatnya meninggalkan agama dan cinta yang berlebihan terhadap dunia, hingga akhirnya Allah menimpakan kehinaan yang tidak ada jalan keluarnya kecuali dengan kembali kepada agama.
Sebagaimana hal itu telah dijelaskan oleh Nabi Shalallah ‘alaihi wasallam, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Abu Dawud dalam Sunannya dari sahabat Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu. Jika masyarakat dilanda krisis aqidah, akhlaq, dan moral, dilanda krisis ekonomi dan krisis politik yang dilematis, maka pembenahan pertama yang mesti dilakukan ialah pembenahan aqidah dan moral dengan segala kemampuan, sebab memperbaiki masalah yang paling berbahaya adalah hal yang disepakati oleh setiap insan berakal.
Ketahuilah bahwa kerusakan yang diakibatkan keyakinan / aqidah manusia dari kesyirikan, khurofat, kebid’ahan, dan kesesatan seribu kali jauh lebih berbahaya daripada kerusakan yang ditimbulkan dari rusaknya hukum / undang-undang dan yang lainnya.
Terbukti, ketika Allah mengutus para RasulNya ke tengah-tengah kaum yang dipenuhi dengan penyimpangan-penyimpangan, aqidah yang rusak, moral yang bejat, pola pikir yang salah, dan sistem hukum yang tak beraturan dan menyalahi syari’at.
Allah tidak membebani mereka (para Rasul) -pada permulaannya- untuk segera mengadakan pembaharuan sistem dalam keadaan umat dikelilingi dengan penyimpangan moral dan aqidah, tetapi justru langkah awal yang ditempuh oleh para rosul adalah pembenahan aqidah dan moral.
Para Nabi dan Rasul tidaklah datang dalam rangka menggulingkan negara dan menegakkan negara yang baru, tidak menginginkan kekuasaan semata dan tidak pula membentuk organisasi untuk itu, tetapi mereka datang memberi hidayah kepada manusia dan menyelamatkannya dari kesesatan dan kesyirikan, serta mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya. Inilah jalan lurus yang Allah telah syari’atkan seluruh para nabi dari yang paling awalnya hingga yang paling akhirnya, dan Dialah Allah Maha Pencipta, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui akan tabiat manusia dan apa yang bermaslahat untuk mereka. Allah berfirman, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS Al Mulk: 14).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mendidik para Sahabatnya di atas Al Kitab (Al Quran) dan Al Hikmah / Sunnah, di atas keimanan, kejujuran, serta tauhid, keikhlasan karena Allah dalam setiap amalan, jauh dari uslub-uslub politik dan dari larut dalam hal jabatan yang tinggi.
Dengan demikian jalan yang harus ditempuh dalam mengembalikan kemuliaan Islam, kaum muslimin, bangsa, dan negara ialah:
Pertama: pembenahan dan pembentukan aqidah dan permuniannya dari kesalahan-kesalahannya.
Kedua: mentarbiyah setiap individu-individu masyarakat dan membangun kepribadiannya di atas landasan hukum-hukum Islam dan adab-adabnya sesuai dengan apa yang telah diwariskan kepada kita dari tiga generasi pertama. Inilah jalan penyelamat dan dari sinilah permulaannya yakni mentarbiyah dengan Islam yang bersih dari khurofat dan bid’ah, dari kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya dan dari pola pikir yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah serta metodologi salaful ummah. Wal ilmu indallah.
(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah Yusuf)

Bersabarlah dengan takdir Allah Swt

Diantara jenis sabar adalah sabar terhadap taqdir Allah. Hal ini berkaitan dengan tauhid Rububiyyah, karena sesungguhnya pengaturan makhluk dan menentukan taqdir atas mereka adalah termasuk dari tuntutan Rububiyyah Allah Ta’ala.
Perbedaan antara Al-Qadar & Al-Maqduur
Qadar atau taqdiir mempunyai dua makna. Yang pertama: al-maqduur yaitu sesuatu yang ditaqdirkan. Yang kedua: fi’lu Al-Muqaddir yaitu perbuatannya Al-Muqaddir (Allah Ta’ala). Adapun jika dinisbahkan/dikaitkan kepada perbuatannya Allah maka wajib atas manusia untuk ridha dengannya dan bersabar. Dan jika dinisbahkan kepada al-maqduur maka wajib atasnya untuk bersabar dan disunnahkan ridha.
Contohnya adalah: Allah telah menaqdirkan mobilnya seseorang terbakar, hal ini berarti Allah telah menaqdirkan mobil tersebut terbakar. Maka ini adalah qadar yang wajib atas manusia agar ridha dengannya, karena hal ini merupakan diantara kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Adapun jika dinisbahkan kepada al-maqduur yaitu terbakarnya mobil maka wajib atasnya untuk bersabar dan ridha dengannya adalah sunnah bukan wajib menurut pendapat yang rajih (kuat).
Sedangkan al-maqduur itu sendiri bisa berupa ketaatan-ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan dan kadang-kadang merupakan dari perbuatannya Allah semata. Adapun yang berupa ketaatan maka wajib ridha dengannya, sedangkan bila berupa kemaksiatan maka tidak boleh ridha dengannya dari sisi bahwasanya hal itu adalah al-maqduur, adapun dari sisi bahwasanya itu adalah taqdir Allah maka wajib ridha dengan taqdir Allah pada setiap keadaan, dan karena inilah Ibnul Qayyim berkata: “Maka karena itulah kita ridha dengan qadha` (ketentuan Allah) dan kita marah terhadap sesuatu yang ditentukan apabila berupa kemaksiatan.”
Maka barangsiapa yang melihat dengan kacamata Al-Qadha` wal Qadar kepada seseorang yang berbuat maksiat maka wajib atasnya ridha karena sesungguhnya Allahlah yang telah menaqdirkan hal itu dan padanya ada hikmah dalam taqdir-Nya. Dan sebaliknya apabila dia melihat kepada perbuatan orang tersebut maka tidak boleh ridha dengannya karena perbuatannya tadi adalah maksiat. Inilah perbedaan antara al-qadar dan al-maqduur.
Bagaimana Manusia Menghadapi Musibah?
Di dalam menghadapi musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:
Pertama: marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman:
æóãöäó ÇáäøóÇÓö ãóäú íóÚúÈõÏõ Çááøóåó Úóáóì ÍóÑúÝò ÝóÅöäú ÃóÕóÇÈóåõ ÎóíúÑñ ÇØúãóÃóäøó Èöåö æóÅöäú ÃóÕóÇÈóÊúåõ ÝöÊúäóÉñ ÇäúÞóáóÈó Úóáóì æóÌúåöåö ÎóÓöÑó ÇáÏøõäúíóÇ æóÇáÂÎöÑóÉó Ðóáößó åõæó ÇáúÎõÓúÑóÇäõ ÇáúãõÈöíäõ
“Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Al-Hajj:11)
Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menarik-narik (menjambak) rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya.
Kedua: sabar, yaitu sebagaimana ucapan penyair:
ÇáÕøóÈúÑõ ãöËúáõ ÇÓúãöåö ãõÑøñ ãóÐóÇÞóÊõåõ áóßöäú ÚóæóÇÞöÈõåõ ÃóÍúáóì ãöäó ÇáúÚóÓóáö
“Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu.”
Maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah.
Ketiga: ridha, dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketika dinisbahkan/disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir/ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, Karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berenang dalam qadha dan qadar, kemana saja qadha dan qadar singgah maka dia pun singgah bersamanya, baik di atas kemudahan ataupun kesulitan. Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya.
Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.
Keempat: bersyukur, dan ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya ‘adzab dunia lebih ringan daripada ‘adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ãóÇ ãöäú ãõÕöíúÈóÉò ÊõÕöíúÈõ ÇáúãõÓúáöãó ÅöáÇøøó ßóÝøóÑó Çááåõ ÈöåóÇ Úóäúåõ ÍóÊøóì ÇáÔøóæúßóÉö íõÔóÇßõåóÇ
“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. Al-Bukhariy no.5640 dan Muslim no.2572 dari ‘A`isyah)
ãóÇ íõÕöíúÈõ ÇáúãõÓúáöãó ãöäú äóÕóÈò æóáÇó æóÕóÈò æóáÇó åóãøò æóáÇó ÍõÒúäò æóáÇó ÃóÐðì æóáÇó Ûóãøò ÍóÊøóì ÇáÔøóæúßóÉö íõÔóÇßõåóÇ ÅöáÇó ßóÝøóÑó Çááåõ ÈöåóÇ ãöäú ÎóØóÇíóÇåõ
“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.” (HR. Al-Bukhariy no.5641, 5642 dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)
Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut.
Bagaimana Mendapatkan Ketenangan?
Allah Ta’ala berfirman:
æóãóäú íõÄúãöäú ÈöÇááøóåö íóåúÏö ÞóáúÈóåõ
“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (At-Taghaabun:11)
Yang dimaksud dengan “beriman kepada Allah” dalam ayat ini adalah beriman kepada taqdir-Nya.
Firman-Nya: “niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya” yaitu Allah akan memberikan ketenangan kepadanya. Dan hal ini menunjukkan bahwasanya iman itu berkaitan dengan hati, apabila hatinya mendapat petunjuk maka anggota badannya pun akan mendapat petunjuk pula, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Åöäøó Ýöí ÇáúÌóÓóÏö ãõÖúÛóÉð ÅöÐóÇ ÕóáõÍóÊú ÕóáõÍó ÇáúÌóÓóÏõ ßõáøõåõ æóÅöÐóÇ ÝóÓóÏóÊú ÝóÓóÏó ÇáúÌóÓóÏõ ßõáøõåõ ÃóáÇó æóåöíó ÇáúÞóáúÈõ
“Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila baik maka akan baiklah seluruh jasadnya dan apabila rusak maka akan rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhariy no.52 dan Muslim no.1599 dari An-Nu’man bin Basyir)
Berkata ‘Alqamah (menafsirkan ayat di atas): “Yaitu seseorang yang ditimpa suatu musibah lalu dia mengetahui bahwasanya musibah tersebut dari sisi Allah maka dia pun ridha dan menerima (berserah diri kepada-Nya).”
Tafsiran ‘Alqamah ini menunjukkan bahwasanya ridha terhadap taqdir Allah merupakan konsekuensinya iman, karena sesungguhnya barangsiapa yang beriman kepada Allah maka berarti dia mengetahui bahwasanya taqdir itu dari Allah, sehingga dia ridha dan menerimanya. Maka apabila dia mengetahui bahwasanya musibah itu dari Allah, akan tenang dan senanglah hatinya dan karena inilah diantara penyebab terbesar seseorang merasakan ketenangan dan kesenangan adalah beriman kepada qadha dan qadar.
Tanda Kebaikan & Kejelekan Seorang Hamba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Çááåõ ÈöÚóÈúÏöåö ÇáúÎóíúÑó ÚóÌøóáó áóåõ ÇáúÚõÞõæúÈóÉó Ýöí ÇáÏøõäúíóÇ æóÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Çááåõ ÈöÚóÈúÏöåö ÇáÔøóÑøó ÃóãúÓóßó Úóäúåõ ÈöÐóäúÈöåö ÍóÊøóì íõæóÇÝöíó Èöåö íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö
“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan balasannya di dunia, dan apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka Allah akan menunda balasan dari dosanya, sampai Allah sempurnakan balasannya di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Ash-Shahiihah no.1220)
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Allah menginginkan kebaikan dan kejelekan kepada hamba-Nya. Akan tetapi kejelekan yang dimaksudkan di sini bukanlah kepada dzatnya kejelekan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah:
æóÇáÔøóÑøõ áóíúÓó Åöáóíúßó
“Dan kejelekan tidaklah disandarkan kepada-Mu.” (HR. Muslim no.771 dari ‘Ali bin Abi Thalib)
Maka barangsiapa menginginkan kejelekan kepada dzatnya maka kejelekan itu disandarkan kepadanya. Akan tetapi Allah menginginkan kejelekan karena suatu hikmah sehingga jadilah hal itu sebagai kebaikan ditinjau dari hikmah yang dikandungnya.
Sesungguhnya seluruh perkara itu di tangan Allah ‘Azza wa Jalla dan berjalan sesuai dengan kehendak-Nya karena Allah berfirman tentang diri-Nya:
Åöäøó ÑóÈøóßó ÝóÚøóÇáñ áöãóÇ íõÑöíÏõ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Huud:107)
Dan juga Dia berfirman:
Åöäøó Çááøóåó íóÝúÚóáõ ãóÇ íóÔóÇÁõ
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-Hajj:18)
Maka semua perkara itu di tangan Allah.
Dan seseorang tidak akan lepas dari salah/keliru, berbuat maksiat dan kurang dalam menunaikan kewajiban, maka apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, akan Allah segerakan baginya balasan (dari perbuatan dosanya) di dunia, apakah diuji dengan hartanya atau keluarganya atau dirinya sendiri atau dengan seseorang yang menjadi sebab adanya ujian-ujian tersebut.
Yang jelas, dia akan disegerakan balasan (dari perbuatan dosanya). Karena sesungguhnya balasan akibat perbuatan dosa dengan diuji pada hartanya, keluarganya ataupun dirinya, itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Maka apabila seorang hamba disegerakan balasannya dan Allah hapuskan kesalahannya dengan hal itu, maka berarti Allah mencukupkan balasan kepadanya dan hamba tersebut tidak mempunyai dosa lagi karena dosa-dosanya telah dibersihkan dengan adanya musibah dan bencana yang menimpanya.
Bahkan kadang-kadang seseorang harus menanggung beratnya menghadapi sakaratul maut karena adanya satu atau dua dosa yang dia miliki supaya terhapus dosa-dosa tersebut, sehingga dia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa-dosa. Dan ini adalah suatu kenikmatan karena sesungguhnya ‘adzab dunia itu lebih ringan daripada ‘adzab akhirat.
Akan tetapi apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka akan Allah biarkan dia dalam keadaan penuh kemaksiatan dan akan Allah curahkan berbagai kenikmatan kepadanya dan Allah hindarkan malapetaka darinya sampai dia menjadi orang yang sombong dan bangga dengan apa yang Allah berikan kepadanya.
Dan ketika itu dia akan menjumpai Rabbnya dalam keadaan bergelimang dengan kesalahan dan dosa lalu dia pun di akhirat disiksa akibat dosa-dosanya tersebut. Kita meminta kepada Allah keselamatan.
Maka apabila engkau melihat seseorang yang nampak dengan kemaksiatan dan telah Allah hindarkan dia dari musibah serta dituangkan kepadanya berbagai kenikmatan maka ketahuilah bahwasanya Allah menginginkan kejelekan kepadanya, karena Allah mengakhirkan balasan dari perbuatan dosanya sampai dicukupkan balasannya pada hari kiamat.
Apabila Allah Mencintai Suatu Kaum
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
Åöäøó ÚöÙóãó ÇáúÌóÒóÇÁö ãóÚó ÚöÙóãö ÇáúÈóáÇóÁö æóÅöäøó Çááåó ÅöÐóÇ ÃóÍóÈøó ÞóæúãðÇ ÇÈúÊóáÇóåõãú Ýóãóäú ÑóÖöíó Ýóáóåõ ÇáÑøöÖóÇ æóãóäú ÓóÎöØó Ýóáóåõ ÇáÓøõÎúØõ
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah Ta’ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka (dengan suatu musibah), maka barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan (Allah).” (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no.146)
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian” yakni semakin besar ujian, semakin besar pula balasannya. Maka cobaan yang ringan balasannya pun ringan sedangkan cobaan yang besar/berat maka pahalanya pun besar karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai keutamaan terhadap manusia. Apabila mereka ditimpa musibah yang berat maka pahalanya pun besar dan apabila musibahnya ringan maka pahalanya pun ringan.
“Dan sesungguhnya Allah Ta’ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka” ini merupakan kabar gembira bagi orang beriman, apabila ditimpa suatu musibah maka janganlah dia menyangka bahwa Allah membencinya bahkan bisa jadi musibah ini sebagai tanda kecintaan Allah kepada seorang hamba. Allah uji hamba tersebut dengan musibah-musibah, apabila dia ridha, bersabar dan mengharap pahala kepada Allah atas musibah tersebut maka baginya keridhaan (dari Allah), dan sebaliknya apabila dia marah maka baginya kemarahan (Allah).
Dalam hadits ini terdapat anjuran, pemberian semangat sekaligus perintah agar manusia bersabar terhadap musibah-musibah yang menimpanya sehingga ditulis/ditetapkan untuknya keridhaan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Wallaahul Muwaffiq.
Diringkas dari kitab Al-Qaulul Mufiid 2/41-44 dan Syarh Riyaadhush Shaalihiin 1/125-126 dengan beberapa perubahan.
(Dikutip dari Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-6 Tahun ke-3 / 31 Desember 2004 M / 19 Dzul Qo’dah 1425 H. Judul asli Sabar terhadap Taqdir Allah.